Selasa, 26 Maret 2013

PASANGGRAHAN OI WOBO

PASANGGRAHAN OI WOBO


Obyek wisata yang satu ini merupakan obyek wisata alam sekaligus sejarah. Karena tempat ini juga di kenal dengan pesanggarahan (Tempat Peristirahatan) para pejabat Belanda dan dibangun pada masa kolonial. Jaraknya hanya sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Raba-Bima. Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang berada di samping Pesanggarahan merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo. Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.


Menurut Legenda, adanya mata air Wobo ini berawal dari keinginan Putera Mahkota Kerajaan Bima untuk melakukan perjalanan dan petualangan ke arah Matahari Terbit. Ketika di tengah hutan mereka kelaparan dan kehausan. Sementara bekal mereka sudah habis. Akhirnya Putera Mahkota mengeluarkan tongkatnya dan Wobo (Bima : Cambuk). Putera Mahkota memukul bebatuan di sekitar hutan itu, maka keluarlah mata air dari celah bebatuan. Alangkah girangnya semua pengikut Putera Mahkota itu. Mereka meminum sepuas-puuasnya.

Pada perkembangan selanjutnya mata air itu mengalir menuju ke segala lini. Masyarakat mendekati tempat itu dan mendirikan perkambungan yang hingga saat ini dikenal dengan Rasa Wawo ( Kampung Atas). Karena lokasinya memang di daerah pegunungan dengan cuaca yang dingin dan sejuk. Pada masa kolonial di sekitar mata air ini dibangun sebuah tempat peristirahatan yang dikenal dengan Pesanggarahan. Di Bima ada dua bangunan bersejarah yang dibangun semacam ini, yaitu di Wawo dan Donggo. Keduanya memang berada di daerah pegungungan yang dingin dan sejuk.

Pesanggrahan dan Kolam Renang Oi Wobo adalah salah satu situs sejarah dan sumber PAD bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Biaya masuk ke lokasi ini sebesar Rp.5000 untuk kendaraan roda 4 dan Rp.5000 per orang. Perlu penataan dan pengelolaan yang lebih professional dalam rangka memanfaatkan obyek wisata ini demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

RIMPU

RIMPU


Rimpu merupakan sebuah budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima (Dou Mbojo). Budaya "rimpu" telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam).

Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).

NGGOLI

NGGOLI (TENUNAN KHAS BIMA)

Tembe ngoli merupakan Sarung khas masyarakat Bima pada umumnya, karena tembe ngoli mempunyai ciri khas dari pemakaiannya maupun cara pembuatannya. Tidak ada yang isitimewa dari pembuatan tembe ngoli, alat (tenunan) untuk Produksinyapun masih sama seperti Lombok dan Sumbawa. Akan tetapi mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi dan mengakar pada Generasi penerus pembuat Tembe Ngoli (sarung khas Bima). 

Kampung Naru Raba Dompu hanyalah kampung biasa seperti kampung-kampung lainnya yang berada di Kota Bima, tetapi di kampung Naru ini nilai menjaga Budaya mereka sangat kuat dan bertahan tidak dimakan oleh Zaman. Tradisi Muna Tembe Ngoli (menenun sarung) masih terus dipertahankan oleh mereka hingga ana cucu mereka, sepanjang pinggir sungai di Kampung naru itu di buat oleh warga sebagai tempat untuk membuat sarung tenunan khas Bima (tembe ngoli). 

Turun temurun di kampung Naru bagi perempuannya wajib dan harus bisa menenun sarung, sejak mereka berumur 12 hingga 15 tahun diajarkan untuk membuat atau menenun sarung (tembe), sehingga nilai Budaya dan Tradisi mereka hingga sekarang masih terjaga. Di kampong Naru (Raba Dompu) setiap rumah wajib mempunyai perangkat alat tenun karena menenun merupakan sebagian Tradisi dan Prasarana untuk mereka mencari nafkah juga. 

Bila diatas jam 9 pagi Ibu-ibu dan Remaja perempuan mulai melakukan aktifitas menenun sarung, sehingga banyak didengar suara kayu alat tenun (Haju loko mangge) saling berirama. Dengan diiringi alunan lagu-lagu Bahasa Bima dan Patu Mbojo (pantun Bima) yang keluar dari mulut Ibu-ibu pembuat Tembe Ngoli (sarung khas Bima).

MUNA (TENUN)


MUNA ( TENUN KHAS BIMA)


Berdasarkan ketentuan adat, setiap wanita yang memasuki usia remaja harus terampil melakukanMuna ro Medi, yang merupakan kegiatan kaum ibu guna meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. 

Perintah adat tersebut dipatuhi oleh seluruh wanita Mbojo sampai Tahun 1960-an. Sejak usia dini anak-anak perempuan dibimbing dan dilatih menjadi penenun “Ma Loa Ro Tingi” (terampil dan berjiwa seni). Bila kelak sudh menjadi ibu rumah tangga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga.

Keberhasilan kaum wanita dalam meningkatkan mutu dan jumlah hasil tenunannya, memikat hati para pedagang dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang ke Bima dan Dompu selain membeli hasil alam dan bumi, juga untuk membeli hasil tenunan Mbojo seperti Tembe (Sarung), Sambolo (Destar) dan Weri (Ikat pinggang).

Sebagai masyarakat Maritim, pada waktu yang bersamaan para pedagang Mbojo, berlayar ke seluruh Nusantara guna menjual barang dagangannya, termasuk hasil tenunan seperti Tembe, Sambolo dan Weri. Menurut catatan Negarakertagama, sejak jaman Kediri sekitar Abad 12, para pedagang Mbojo telah menjalin hubungan niaga dengan Jawa. Mereka datang menjual Kuda, hasil bumi dan barang dagangan lainnya. Informasi yang sama dikatakan oleh Tome Pires (Portugis) yang datang ke Bima pada Tahun 1573 M.

Dari keterangan Tome Pires yang lengkap lagi panjang itu, dapat disimpulkan bahwa pada awal Abad 16 M, para pedagang Mbojo sudah berperan aktif dalam percaturan niaga Nusantara, mereka berlayar ke Jawa, Malaka, Maluku dan bahkan ke Cina. Berperan sebagai pedagang keliling yang ulet, modal sedikit tetapi dapat menarik banyak keuntungan.

Kejayaan Muna ro Medi sebagai salah satu sumber penghasilan rumah tangga dan masyarakat, mulai mengalami kemunduran sekitar Tahun 1960-an. Saat itu kegiatan Muna ro Medi mulai ditinggalkan oleh para kaum wanita. Apresiasi terhadap hasil tenunan Mbojo seperti Tembe, Sambolo dan Weri kian berkurang. Dalam kesehariannya, jumlah masyarakat yang memakai Tembe, Sambolo dan Weri terus merosot. Masyarakat terutama kaum wanita lebih mencintai bahan dan model pakaian dari luar, bahkan bangga bila berbusana ala Barat.

NTUMBU (ADU KEPALA)

NTUMBU (ADU KEPALA)



ADU KEPALA (NTUMBU), adalah beberapa lagi kekayaan seni dan budaya yang sebaiknya Anda tonton. Ntumbu atau pertunjukan adu kepala, Tari Manca (adu pedang) danBuja Kadanda (adu tombak serta pedang).

Untuk dapat melihat sebagian dari kekayaan itu, Anda harus mendatangi beberapa desa yang penduduknya masih bisa atau menguasai proses pelaksanaan adu kepala dan tarian dengan senjata tajam. Datanglah ke Desa Maria, Kecamatan Wawo. Sekitar satu jam perjalanan dari pusat Kota Bima ke arah timur. Bicaralah dengan Kepala Desa, karena untuk melaksanakan tarian itu harus mengerahkan cukup banyak penduduk. Soal biaya bisa dirundingkan. Kira-kira sekitar Rp. 1 – 2 juta, tergantung lama pertunjukkan yang pastinya akan dilaksanakan di halaman lumbung khas Masyarakat Bima.

Bunyi benturan dua kepala, dipastikan membuat ngilu penonton. Tapi dua orang pemilik kepala yang diadu tenang-tenang saja. ”Jangan khawatir, tidak akan ada yang terluka, semuanya masih bugar. Boleh coba, jangan takut, pasti tidak akan sakit.” ajak Sulaeman Hemon, 64 thn, juru mantra Desa Maria kepada penonton.



Di sinilah kuncinya. Sebelum atraksi, Sulaeman membaca mantra sambil membawa air putih. Beberapa orang yang akan mengadu kepala ikut komat-kamit. Lalu, mereka mengusapkan air putih tadi ke kepala, dahi, kemudian meminumnya. Mantrapun bekerja. Setelah mengambil ancang-ancang, mereka saling seruduk dan mengaku tidak merasakan apa-apa.

Adu kepala atau Ntumbu merupakan kesenian yang dulu sering dimainkan di setiap pesta dan ritual adat. Selain Ntumbu ada juga Tari Manca dan Buja Kadanda. Dua tarian ini juga menggunakan mantra. Pasalnya, dalam tarian itu terjadi saling serang dengan menggunakan pedang dan tombak betulan.

Memeriahkan suasana, setiap ritual kesenian diiringi musik khas Bima, utamanya lewat Tabuhan Gendang dan Tiupan ”Silu” (alat musik tiup semacam terompet yang terbuat dari daun lontar). Meriah, penuh warna, mengandung unsur magic, tapi tidak menakutkan.


Tertarik? Datanglah dan ikuti petualangannya. Anda bisa kok melakukan sendiri adu kepala tersebut.

MPAA MANCA

MPA'A MANCA


Mpa’a Manca (permainan menggunakan pedang, yang diiringi musik tradisional dengan peralatan gendang, dan silu : silu yaitu alat musik tiup yang menimbulkan bunyi nyaring dan mempunyai irama yang bagus .

Mpa'a manca biasanya di lakukan pada saat acara khitanan dan acara nikahan. serta berbagai acara budaya lainya di tujukan demi menjaga dan mewarisi budaya Bima.

TARI WURA BONGI MONCA

TARI WURA BONGI MONCA


     Seni budaya tradisonal Bima berkembang cukup pesat pada masa pemerintahan sultan Abdul Kahir sirajuddin, sultan Bima ke-2 yang memerintah antara tahun 1640 -1682 M. Salah satunya adalah Tarian Selamat Datang atau dalam bahsa Bima dikenal dengan Tarian Wura Bongi Monca. Bongi Monca adalah beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tari menabur Beras Kuning kepada rombongan tamu yang datang berkunjung.

    Tarian ini biasa digelar pada acara-acara penyambutan tamu baik secara formal maupun informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa digelar untuk menyambut tamu-tamu sultan. Tarian ini dimainkan oleh 4 sampai 6 remaja putri dalam alunan gerakan yang lemah lembut disertai senyuman sambil menabur beras kuning kearah tamu, Karena dalam falsafah masyarakat Bima tamu adalah raja dan dapat membawa rezeki bagi rakyat dan negeri.

     Alat musik pengiring tarian ini adalah 2 buah Gendang besar, 1 Gong, 1 Tawa-tawa, dan 1 Sarone (Sejenis alat musik yang menyerupai seruling tapi terbuat dari daun lontar ). Saat ini, tarian Wura Bongi Monca telah banyak mengalami perubahan dan kreasi. Iramanya dibuat lebih atraktif yang dipadukan dengan gerakan yang cukup dinamis dari pada aslinya yang menyerupai Tari Lenggo dengan gerakan yang lamban dan gemulai.( Baca catatan Tari Lenggo Titipan Keluguan Zaman untuk Generasinya.).

      Tarian ini tergolong cukup eksis hingga kini. Disetiap acara terutama penyambutan tamu dan acara-acara resmi Pemerintahan baik di kota maupun Kabupaten Bima terian ini biasa digelar. Mudahan-mudahan tarian Wura Bongi monca sebagai salah satu warisan peradaban Bima ini tetap eksis sepanjang Zaman dan terus terwarisi darei generasi ke generasi.